Istilah
kontrak atau perjanjian terkadang masih dipahami secara rancu. BW (Burgerlijk
Wetboek) menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk
pengertian yang sama. Hal ini secara jelas dapat disimak dari judul Buku III
titel kedua tentang “Perikatan-perikatan yang lahir dari Kontrak atau
Perjanjian” yang dalam bahasa Belanda berbunyi “Van verbintenissen die uit
contract of overeenkomst geboren worden”. Pengertian ini juga didukung oleh
pendapat banyak sarjana, antara lain : Hofmann dan J. Satrio,
Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan,
Mariam Darus Badrulzaman,
Purwahid Patrik dan
Tirtodiningrat yang
menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam pengertian yang sama.
A.
Pengertian Perjanjian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua
pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut
dalam persetujuan itu.
Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian
adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun
lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat
bersama.”
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, “Suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya
berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan tersebut
tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena hanya mengenai perjanjian
sepihak saja dan dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang
mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga yang
menimbulkan perjanjian juga, tetapi, bersifat istimewa karena diatur dalam
ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga Buku III KUH Perdata secara langsung
tidak berlaku terhadapnya. Juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di
dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.
R. Subekti mengemukakan perjanjian adalah “suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”
Menurut Salim HS, Perjanjian adalah "hubungan hukum antara subjek
yang satu dengan subjek yang lain dalam
bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan
begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya
sesuai dengan yang telah disepakatinya.”
Dari pengertian-pengertian di atas dapat
dilihat beberapa unsur-unsur yang tercantum dalam kontrak, yaitu :
1.
Adanya hubungan hukum
Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum
yaitu timbulnya hak dan kewajiban.
2.
Adanya subjek hukum
Subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Subyek dalam hukum perjanjian
termasuk subyek hukum yang diatur dalam KUH Perdata, Sebagaimana diketahui
bahwa Hukum Perdata mengkualifikasikan subjek hukum terdiri dari dua bagian
yaitu manusia dan badan hukum. Sehingga yang membentuk perjanjian menurut Hukum
Perdata bukan hanya manusia secara individual ataupun kolektif, tetapi juga
badan hukum atau rechtperson, misalnya Yayasan, Koperasi dan Perseroan
Terbatas.
3.
Adanya prestasi
Prestasi menurut Pasal 1234 KUH Perdata terdiri atas untuk memberi sesuatu,
untuk berbuat sesuatu, dan untuk tidak berbuat sesuatu.
4.
Di bidang harta
kekayaan Pada umumnya kesepakatan yang telah dicapai antara dua atau lebih
pelaku bisnis dituangkan dalam suatu bentuk tertulis dan kemudian ditanda
tangani oleh para pihak. Dokumen tersebut disebut sebagai “Kontrak Bisnis” atau
“Kontrak Dagang”.
Perjanjian merupakan sumber terpenting dalam
suatu perikatan. Menurut Subekti, Perikatan adalah “suatu perhubungan hukum
antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan
mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan
pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”.
Perikatan
dapat pula lahir dari sumber-sumber lain yang tercakup dengan nama
undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari “perjanjian” dan ada
perikatan yang lahir dari “undang-undang”. Perikatan yang lahir dari
undangundang dapat dibagi lagi ke dalam perikatan yang lahir karena
undang-undang saja (Pasal 1352 KUH Perdata) dan perikatan yang lahir dari
undang-undang karena suatu perbuatan orang. Sementara itu, perikatan yang lahir
dari undangundang karena suatu perbuatan orang dapat lagi dibagi kedalam suatu
perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperoleh dan yang lahir dari
suatu perbuatan yang berlawanan dengan Hukum (Pasal 1353 KUH Perdata).
B.
Syarat Sahnya
Perjanjian
Syarat sahnya suatu perjanjian diatur
dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengemukakan empat syarat,yaitu :
1.
Adanya kesepakatan
kedua belah pihak
2.
Kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum
3.
Adanya suatu hal
tertentu.
4.
Adanya sebab yang
halal.
Kedua
syarat yang pertama disebut syarat subjektif karena kedua syarat tersebut
mengenai subjek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir merupakan syarat
objektif karena mengenai objek dari perjanjian.
Keempat
syarat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
Adanya kesepakatan
kedua belah pihak
Syarat pertama dari sahnya suatu perjanjian
adalah adanya kesepakatan para pihak. Kesepakatan adalah “persesuaian
pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang
sesuai itu adalah pernyataannya, karena
kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui
orang lain.”
Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Pernyataan
secara diam-diam sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari kita. Misalnya,
seorang penumpang yang naik angkutan umum, dengan membayar ongkos angkutan
kepada kondektur kemudian pihak kondektur menerima uang tersebut dan
berkewajiban mengantar penumpang sampai ke tempat tujuannya dengan aman. Dalam
hal ini, telah terjadi perjanjian walaupun tidak dinyatakan secara tegas.
Persetujuan tersebut harus bebas, tidak
ada paksaan. Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk terjadinya
perjanjian yang sah. Dianggap perjanjian tersebut tidak sah apabila terjadi
karena paksaan, kekhilafan atau penipuan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
1321 KUH Perdata yang menyatakan jika di dalam perjanjian terdapat kekhilafan,
paksaan atau penipuan, maka berarti di dalam perjanjian itu terjadi cacat kehendak
dan karena itu perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Cacat kehendak artinya
“bahwa salah satu pihak sebenarnya tidak menghendaki isi perjanjian yang
demikian. Seseorang dikatakan telah membuat kontrak secara khilaf manakala dia
ketika membuat kontrak tersebut dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang
ternyata tidak benar.
1.
Kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum
Menurut
1329 KUH Perdata kedua belah pihak harus cakap menurut hukum. Kecakapan
bertindak adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Dimana perbuatan
hukum ialah perbuatan yang menimbulkan akibat hukum.
Ada
beberapa golongan oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap yaitu:
Orang yang belum dewasa Menurut Pasal 330 KUH
Perdata, belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan
1.
belum pernah kawin.
Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka genap 21 tahun maka tidak
berarti mereka kembali lagi dalam keadaan belum dewasa.
2.
Orang yang ditaruh di
bawah pengampuan Orang yang ditaruh di bawah pengampuan menurut hukum tidak
dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Seseorang yang berada di bawah
pengawasan pengampuan, kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa.
Jika seorang anak yang belum dewasa harus diwakili orang tua atau walinya maka
seorang dewasa yang berada di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu
atau kuratornya. Dalam pasal 433 KUH Perdata, disebutkan bahwa setiap orang
dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap,
harus di bawah pengampuan jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya.
Seseorang yang telah dewasa dapat juga berada di bawah pengampuan karena
keborosannya.
3.
Orang perempuan dalam
hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu. Tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sesuai dengan pasal 31 ayat
(2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo.SEMA No.3 Tahun 1963.
1.
Adanya suatu hal
tertentu
Suatu hal dapat diartikan sebagai objek dari
perjanjian. Yang diperjanjikan haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup
jelas atau tertentu. Menurut Pasal 1332 KUH Perdata, hanya barang-barang yang
dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok-pokok perjanjian. Pasal 1333
KUH Perdata menyatakan bahwa suatu persetujuan itu harus mempunyai pokok suatu
barang yang paling
sedikit
dapat ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak
tentu asal barang kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
1.
Adanya sebab yang halal
Di
dalam Undang-undang tidak disebutkan pengertian mengenai sebab (orzaak,causa).
Yang dimaksud dengan sebab bukanlah sesuatu yang mendorong para pihak untuk
mengadakan perjanjian, karena alasan yang menyebabkan para pihak untuk membuat
perjanjian itu tidak menjadi perhatian umum. Adapun sebab yang tidak
diperbolehkan ialah jika isi perjanjian bertentangan dengan undangundang,
kesusilaan dan ketertiban umum.
Dari
uraian di atas, apabila syarat subjektif tidak terpenuhi, maka salah satu pihak
dapat meminta supaya perjanjian itu dibatalkan, namun, apabila para pihak tidak
ada yang keberatan, maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Sementara itu,
apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.
Keempat syarat tersebut haruslah dipenuhi oleh
para pihak dan apabila syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut telah
terpenuhi, maka menunit Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian tersebut mempunyai
kekuatan hukum sama dengan kekuatan suatu Undang-undang.
0 komentar:
Posting Komentar