Perkataan "perikatan" (verbintenis) mempunyai
arti yang lebih luas dari perkataan
"perjanjian", sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan
hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan
atau perjanjian, yaitu perihal perikatan
yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perkataan yang timbul dari pengurusan
kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan
(zaakwaarneming).
Adapun yang dimaksudkan dengan "perikatan"
ialah: suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan
harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya,
sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan
itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan
pihak berpiutang atau "kreditur", sedangkan pihak yang wajib memenuhi
tuntutan dinamakan pihak berhutang
atau "debitur". Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan
"prestasi", yang menurut undang-undang dapat berupa :
1). menyerahkan suatu barang
2). melakukan suatu perbuatan
3). tidak melakukam suatu perbuatan.
Mengenai sumber-sumber perikatan, oleh undang-undang
diterangkan, bahwa suatu perikatan dapat lahir
dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang. Perikatan yang
lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir
dari undang-undang saja dan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Yang belakangan ini, dapat
dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang
lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan
yang berlawanan dengan hukum.
Apabila seorang berhutang tidak memenuhi kewajibannya,
menurut bahasa hukum ia melakukan "wanprestasi" yang menyebabkan ia
dapat digugat di depan hakim.
Dalam hukum berlaku suatu asas, orang tidak boleh
menjadi hakim sendiri. Seorang berpiutang
yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari seorang berhutang
yang tidak memenuhi kewajibannya, harus meminta perantaraan Pengadilan.
Tetapi sering terjadi bahwa si berhutang sendiri dari
semula sudah memberikan persetujuanya, kalau ia sampai lalai, si
berpiutang berhak melaksanakan sendiri
hak-haknya menurut perjanjian, dengan tak usah meminta perantaraan
hakim. Ini telah kita lihat dalam hal pandrecht. Pelaksanaan yang
dilakukan sendiri oleh seorang berpiutang dengan
tidak melewati hakim, dinamakan "parate executie". Orang yang berhutang dengan memberikan tanggungan gadai sejak
semula telah memberikan izin kalau ia lalai,
barang tanggungan boleh dijual oleh si berpiutang untuk pelunasan hutang dengan hasil penjualan itu. Begitu juga halnya
dengan seorang pemberi hypotheek dengan "beding van
eigenmachtige verkoop".
Jadi pada umumnya, si berpiutang hams menempuh jalan menuntut
si berhutang di depan Pengadilan. Jika prestasi yang dikehendaki itu
berupa membayar sejumlah uang, memang si
berpiutang sudah tertolong jika ia mendapat suatu putusan Pengadilan, karena ia dapat minta dijalankannya putusan
itu dengan menyita dan melelang harta benda si berhutang.
Tetapi jika untuk prestasi yang dikehendaki itu
diperlukan persetujuan atau bantuan pribadi
dari si berhutang - yang enggan memberikan persetujuan atau bantuan itu - si berpiutang masih menghadapi kesulitan.
Misalnya, dalam hal si berhutang harus
memberikan hypotheek atau menyerahkan sebuah benda yang tak bergerak. Dalam hal ini sebagai diketahui harus ada suatu
akte pemberian hypotheek atau suatu akte
transport, yang dibuat di depan notaris, dengan bantuan si berhutang. Dalam hal pemberian hypotheek, kesulitan tersebut dapat
di atasi, karena undang-undang mengizinkan
pelaksanaan dengan pendaftaran putusan Pengadilan dalam daftar-daftar hypotheek (lihat pasal 1171 ayat 3 B.W.),
tetapi ini merupakan suatu kekecualian.
Mengenai penycrahan sebuah benda yang tak bergerak, kesulitan masih tetap ada selama tidak diadakan ketentuan seperti dalam
hal pemberian hypotheek tersebut, dan
selama para hakim masih memegang teguh pendirian bahwa persetujuan si berhutang (akte transport) tidak mungkin digantikan
oleh suatu putusan hakim.
Cara melaksanakan suatu putusan, yang oleh hakim
dikuasakan pada orang berpiutang untuk mewujudkan sendiri apa yang menjadi
haknya, dinamakan "reele executie."
Dalam B.W. sendiri cara pelaksanaan ini dibolehkan dalam hal-hal berikut
:
1.
Dalam hal
perjanjian-perjanjian yang bertujuan bahwa suatu pihak tidak akan melakukan suatu perbuatan, misalnya tidak akan membuat
suatu pagar tembok yang lebih tinggi dari 3
meter, pihak yang lain dapat dikuasakan oleh hakim untuk membongkar
sendiri apa yang telah diperbuat dengan melanggar perjanjian itu (lihat pasal
1240).
2.
Dalam hal
perjanjian-perjanjian untuk membikin suatu barang (yang juga dapat dibuat oleh seorang lain, misalnya suatu garage), pihak
yang berkepentingan dapat dikuasakan oleh hakim
untuk membikin sendiri atau menyuruh orang lain membikinnya, atas biaya yang harus dipikul oleh si berhutang
(lihat pasal 1241).
Jika prestasi berupa menyerahkan suatu barang tertentu
atau melakukan suatu perbuatan yang sangat
pribadi (membuat lukisan oleh seorang pelukis ternama), pada umumnya tidaklah
mungkin untuk mewujudkan prestasi itu dengan tiada bantuan si berhutang, dan terpaksalah si berpiutang menerima suatu
penggantian kerugian
berupa uang.
Dalam B.W, ada tersebut suatu macam perikatan yang
dinamakan "natuurlijke verbintenis".
Secara tegas tidak diberikan suatu uraian tentang apa yang dimaksudkan dengan perikatan semacam itu. Satu-satunya pasal yang
memakai perkataan tersebut, ialah pasal 1359
ayat 2, yang hanya menerangkan , bahwa terhadap "natuurlijke
verbintenissen" yang secara suka rela dipenuhi (dibayar), tidaklah
diperkenankan untuk meminta kembali apa yang telah dibayarkan itu. Dengan kata
lain apa yang sudah dibayarkan tetap menjadi hak si berpiutang, karena
pembayaran tersebut dianggap sah. Artinya tidak
termasuk dalam golongan pembayaran yang tidak diwajibkan,
seperti yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal 1359 tersebut.
Berhubung dengan tidak adanya suatu uraian yang tegas,
timbullah pertanyaan tentang pengertian
apakah yang hams diberikan pada perkataan natuurlijke verbintenis itu. Jawabnya, natuurlijke verbintenis ialah suatu
perikatan yang berada di tengah-tengah antara perikatan moral atau
kepatutan dan suatu perikatan hukum, atau boleh
juga dikatakan, suatu perikatan hukum yang tidak sempurna. Suatu perikatan hukum yang sempurna selalu dapat ditagih dan
dituntut pelaksanaannya di depan hakim.
Tidak sedemikian halnya dengan suatu natuurlijke verbintenis, suatu hutang dianggap ada, tetapi hak untuk menuntut pembayaran
tidak ada. Jadi tergantung pada si
berhutang apakah ia hendak memenuhinya atau tidak. Apakah ia hendak menjadikannya suatu perikatan hukum biasa atau
tidak. Apabila ia membayar hutang itu,
seolah-olah ia mengangkat natuurlijke verbintenis itu ke dalam lingkungan hukum. Pada ketika perikatan itu dipenuhi, ia
meningkat menjadi suatu perikatan hukum biasa, tetapi ketika itu juga
hapus karena pembayaran.
Jika sudah terdapat kata sepakat, bahwa suatu
natuurlijke verbintenis itu, adalah suatu
perikatan hukum (hanya tidak sempurna), maka konsekuensinya, ia dapat dibikin sempurna Misalnya dengan jalan pembaharuan
hutang (novatie) atau dengan mengadakan
penanggungan hutang (borgtocht). Kecuali, jika undang-undang melarangnya, sebagaimana terdapat dalam pasal 1790 B.W.
yang melarang untuk membaharui suatu hutang yang terjadi karena
perjudian.
Bahwa perikatan-perikatan tersebut di bawah ini semuanya
termasuk dalam golongan natuurlijke verbintenis, boleh dikatakan sudah menjadi
suatu pendapat umum :
1.
Hutang-hutang yang
terjadi karena perjudian, oleh pasal 1788 tidak diizinkan untuk
menuntut pembayaran.
2.
Pembayaran bunga dalam hal pinjaman uang
yang tidak semata-mata diperjanjikan, jika
si berhutang membayar bunga yang tidak diperjanjikan itu, ia tidak dapat memintanya kembali, kecuali jika
apa yang telah dibayarnya itu melampaui bunga menurut undang-undang (6
prosen).
Sisa hutang seorang
pailit, setelah dilakukan pembayaran menurut perdamaian (accord).
0 komentar:
Posting Komentar